SEJARAH JAKARTA (Batavia)
Anda pernah menonton film Troy ? Film kolosal yang berkisah tentang
pertempuran di negeri Yunani ini menampilkan jalannya pertempuran
terkenal di Troya itu dengan megahnya.
Referensi:
Peperangan Kerajaan di Nusantara, Capt. RP Suyono, Grasindo, Jakarta, 2003
http://jakarta45.wordpress.com/2010/01/0...n-batavia/
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/...659491.htm
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/...rbengkalai
Pertempuran 10 November 1945, Bung Tomo, VisiMedia, Jakarta, 2008
http://openlibrary.org/b/OL7842243M/The_...st_of_Java
http://kota-jakarta.info/category/sejara...ta/page/3/
Sumber: http://forum.gemscool.com/thread-90120.html
Dalam film itu diperlihatkan
bagaimana besarnya armada penyerbu dengan kapal perang yang berjumlah
ribuan bak akan menyapu daratan Troya.
Pantai dan lautan pesisir Troya hampir tidak menyisakan ruang sedikitpun
karena dipenuhi dengan kapal-kapal perang yang berjejer untuk
mendaratkan prajuritnya.
Kisah selanjutnya sudah menjadi suratan sejarah
ala Homer, para prajurit itu bertempur dengan gagah berani penuh dengan
kebanggaan akan harga diri mereka sebagai seorang petarung, walau untuk
itu Archilles, sang petarung unggul harus menemui ajalnya.
Nah, percayakah Anda bahwa situasi yang kurang lebih sama di atas juga
pernah terjadi di negara kita ?
Tepatnya 2 bulan setelah kepergian
Daendels di tahun 1811, tiba-tiba muncul sebuah armada perang Inggris di
muka benteng Batavia.
Armada Inggris berkekuatan 100 kapal perang ini
dipimpin oleh Lord Minto, gubernur jenderal Inggris dari India dengan
membawa staf, pegawai sipil dan komandan perang lengkap dengan 15.000
orang tentara dan pelaut lengkap dengan persenjataannya.
Kebangkitan Napoleon Bonaparte di Perancis membawa dunia pada perang
besar antara Perancis melawan Inggris.
Walaupun pertempuran langsung
pasukan Grandee Armee-nya Napoleon Bonaparte melawan kerajaan Inggris,
Prusia dan Rusia terjadi di benua Eropa (sehingga perangnya dinamakan
Perang Continental), tapi perang besar ini juga melibatkan koloni
masing-masing negara.
Pertempuran besar yang dicatat sejarah adalah pertempuran di Austerlitz,
di laut Trafalgar Spanyol dan pertempuran besar di delta Sungai Nil
Mesir. Sedangkan pertempuran terbesar di luar Eropa akhirnya terjadi di
Jawa, tepatnya di Batavia melibatkan 15.000 pasukan Inggris melawan
12.000 serdadu gabungan Belanda, Perancis dan Jawa.
Inilah pertempuran
besar yang sering dilupakan oleh orang-orang Indonesia, padahal sudah
tercatat dalam sejarah versi Perancis (L’ile de Java Sous la Domination
Francaise karya Octave JA Collet yang diterbitkan di Brussel, Belgia,
tahun 1910) maupun versi Inggris (salah satunya memoar Mayor William
Thorn dengan judul The Conquest of Java, diterbitkan di London 1815).
Sejak tahun 1807, Lord Minto memang sudah merencanakan untuk menyerbu
dan mengambilalih Jawa dan Nusantara dari kekuasaan Belanda-Perancis.
Inilah yang sudah diantisipasi oleh Daendels dengan menambah jumlah
pasukan sampai 10.000 prajurit dan membangun benteng Meester Cornelis di
Jatinegara lengkap dengan saluran air sedalam 3 meter dan selebar 4
meter yang membentang di belakang Jalan Matraman sepanjang Jalan
Palmeriam (Jakarta Pusat, sekarang) lalu ke arah selatan dekat Jalan
Kemuning dekat Stasiun Jatinegara dan Jatinegara Timur.
Konon karena dulunya dipenuhi aneka macam meriam, makanya lokasi
tersebut dinamai Palmeriam, Daendels juga mendirikan pabrik senjata di
Semarang dan Surabaya serta memperbaiki Jalan Raya Pos Anyer – Panarukan
untuk mempercepat mobilitas pasukannya.
Sayang persiapan Daendels yang
begitu baik ini tidak dilanjutkan oleh penerus Daendels, Gubernur
Jenderal Janseens sehingga pertempuran besar ini akan berakhir
memalukan.
Armada Inggris berangkat dari Calcutta dan Madras di pantai timur India
menuju Penang.
Sebelumnya mereka sempat transit di Pulau Bangka. Konon,
oleh Inggris pulau ini dinamakan St. York Island dan ibu kotanya
dinamakan Minto untuk menghormati Lord Minto.
Dari kata Minto ini
kemudian berkembang menjadi kota Muntok, seperti yang kita kenal
sekarang ini. Dari Penang, armada Inggris ini kemudian berlabuh di lepas
pantai Sunda Kelapa.
Mayor William Thorn dari Angkatan Darat Inggris
melaporkan dalam memoarnya (berjudul Conquest of Java) bahwa armada
Inggris terdiri dari 4 kapal perang battleship, 14 fregat, 7 sloop, 8
penjelajah (cruiser) serta 57 kapal transpor pengangkut pasukan. Inilah
armada invasi Inggris terbesar sebelum Perang Dunia ke 2.
Sebelum mendaratkan marinirnya Lord Minto mengirimkan utusan yang
meminta Belanda-Perancis menyerah tanpa syarat. Janssens menolak
permintaan ini.
Tapi sayangnya, Janssens beserta Jenderal Jean Marie
Jumel (komandan tempur yang dibantu 150 Perwira Perancis dan ribuan
prajurit) tidak melakukan tindakan apapun untuk menghalau Inggris dari
pantai Batavia.
Alih-alih menyerang armada Inggris dengan tembakan
meriam pertahanan pantai, pasukan Perancis – Belanda malah membakar
gudang logistik milik pemerintah dan merusak beberapa sarana umum
seperti jembatan.
Tentu saja penduduk lokal memandang tindakan
pemerintah ini sebagai tindakan sia-sia.
Mereka lalu menjarah dan merampok gudang-gudang yang belum sempat
dibakar.
Di jalan-jalan saat itu banyak berceceran kopi, teh dan
rempah-rempah berikut peti dan karung-karungnya. Sejarah memang
berulang, penjarahan ini terjadi lagi pada tahun 1998 yang lalu, suatu
kebodohan dan kejahatan massal yang terus berulang kembali.
Tanggal 4 Agustus 1811, pasukan Inggris di bawah komando Letnan Jenderal
Samuel Auchmuty akhirnya mendarat di Cilincing. Pendaratan ini sesuai
dengan estimasi Daendels dulu bahwa Inggris pasti akan mendarat di
Cilincing karena daratannya agak menjorok ke laut dan tiada penghalang
di sini.
Tanggal 6 Agustus 1811 Inggris mencoba menyerang langsung Meester
Cornelis melalui Serani dan Pulo Gadung, tapi serangan ini dibatalkan
karena banyak prajurit Inggris yang pingsan akibat kepanasan bergerak di
tengah persawahan.
Tanggal 7 Agustus 1811, serangan akhirnya dialihkan melalui Tanjung
Priok langsung ke Ancol melalui jembatan Kali Slokkan (kelak “selokan”
adalah istilah untuk saluran air) yang telah dihancurkan Belanda.
Pertempuran sengit tidak terjadi karena 2 batalyon Perancis-Belanda yang
berada di sana sudah mengundurkan diri.
Tanggal 8 Agustus 1811, Inggris memasuki kota Batavia yang sudah
ditinggal kosong oleh pasukan Perancis-Belanda.
Alih-alih menemukan
perlawanan dari pasukan Janssens dan Jumel, marinir Inggris malah
menemukan penduduk yang tengah menjarah gudang-gudang logistik. Karuan
saja penjarahan ini sontak berhenti ketika penduduk melihat kedatangan
pasukan Inggris itu.
Kemudian pasukan Inggris melalui Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada)
dan Noordwijk (sekarang Jalan Juanda), bergerak menuju asrama tentara di
Weltevreden (sekarang Hotel Borobudur) yang ternyata sudah kosong
melompong.
Baru tanggal 12 Agustus 1811 pasukan Inggris mendapatkan perlawanan
pasukan Perancis – Belanda dan Bugis di Struiswijk (sekarang Jalan
Paseban) selama sehari penuh. Gabungan pasukan Perancis – Belanda –
Bugis akhirnya mundur ke pertahanan terakhir di Meester Cornelis.
Inilah yang kemudian tampak aneh. Selama 10 hari berikutnya pasukan
Perancis – Belanda benar-benar tidak melakukan sesuatu untuk menghadapi
musuh.
Mereka hanya menjalankan pertahanan pasif dengan sesekali
membombardir pertahanan tentara Inggris. Hari-hari pun dijalani secara
normal, bukan dalam kondisi siaga tempur.
Bahkan malam hari pun mereka
tidur seperti biasa, seakan-akan berharap musuh akan begitu baiknya pada
mereka sehingga hanya menyerang kalau mereka sudah bangun, mandi dan
sarapan dulu.
Demikianlah akhirnya menjelang tengah malam tanggal 25 – 26 Agustus
1811, Auchmuty mengadakan serangan mendadak ke Meester Cornelis,
tepatnya ke pertahanan Perancis di dekat Jalan Kayumanis 10. Pasukan
Belanda pun kocar-kacir tidak karuan.
Pada serangan pertama, benteng di
sisi timur Slokkan dapat direbut. Bahkan menjelang matahari terbit
pertempuran sudah selesai.
Menyadari garis pertahanan sudah dijebol pihak lawan, beberapa perwira
Perancis meledakkan gudang amunisi di dekat Kompleks TNI AD Urip
Sumoharjo.
Konon, karena itulah di dekat situ ada gang bernama Gang
Solitude (kesunyian), karena ketika prajurit Inggris sudah sampai di
situ, mereka hanya menemukan kesunyian berupa puing-puing bangunan dan
mayat yang berserakan.
Kemudian pasukan berkuda Inggris melakukan
pengejaran pasukan Perancis – Belanda yang melarikan diri ke arah
Buitenzorg (Bogor).
Inilah akhir dari pertempuran Batavia yang sangat memalukan. Pasukan
Perancis – Belanda ternyata bertempur sebagai pengecut. 5.000 prajurit
berhasil ditawan, termasuk di dalamnya ada 250 perwira. 300 pucuk meriam
jatuh ke tangan Inggris lengkap dengan amunisinya.
Bagaimana dengan Janssens ? Dia berhasil mencapai Bogor lalu melalui
jalan darat bergerak ke Semarang.
Dia mengumpat-umpat nggak karuan
karena pasukan cadangan dari kraton Jawa tidak kunjung datang. Tapi
akhirnya dia berhasil menempatkan pasukan cadangannya itu di kaki Gunung
Ungaran.
Tapi apa yang terjadi ? Dengan satu kali tembakan meriam saja
pasukan cadangan itu bubar melarikan diri, padahal pasukan Inggris yang
mengejar di Jawa Tengah hanya berjumlah 1.000 orang serdadu saja.
Janssens akhirnya menyerah di Kali Tuntang, di utara Salatiga dengan
ditandatanganinya Kapitulasi Tuntang tanggal 18 September 1811. Isi
Kapitulasi Tuntang adalah bahwa Jawa dan sekitarnya dikuasai Inggris,
semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris dan orang Belanda boleh
dijadikan pegawai Inggris. Janssens kemudian dijadikan tawanan Inggris.
Inilah akhir hikayat Batavia nan pengecut. Berbeda dengan pertempuran
Troya yang menghasilkan pahlawan, pertempuran Batavia hanya menghasilkan
para pengecut.
Tapi apakah ini kepengecutan terakhir dari Batavia ? Ternyata tidak.
Sejarah mencatat bahwa tiada perlawanan terhadap serbuan Jepang di
Jakarta karena Belanda memilih mundur ke arah Kalijati, berujung pada
penyerahan kalah Belanda kepada bala tentara Nippon tanggal 8 Maret
1942.
Jakarta yang pengecut itu juga dicatat dalam memoar Bung Tomo yang
berjudul Pertempuran 10 November 1945. Pada awal Oktober 1945, Bung Tomo
berkunjung ke Jakarta dengan perkiraan bahwa sebagai tempat proklamasi
kemerdekaan pastilah rakyat Jakarta sedang dilanda semangat revolusi.
Alangkah kecewanya dia saat melihat bahwa berbeda dengan Surabaya yang
sedang berkobar dalam suasana revolusioner, Jakarta ternyata malah adem
ayem saja setelah proklamasi kemerdekaan.
Bendera Belanda yang sudah
tidak laku di Surabaya malah masih berkibar di tangsi Angkatan Laut di
pusat kota.
Penduduk Jakarta malah takluk oleh aturan jam malam oleh
tentara sekutu.
Bahkan di beberapa tempat masih sering dijumpai beberapa
pemuda Jakarta ditampar oleh serdadu Belanda yang lewat, sesuatu yang
tidak mungkin dijumpai di Surabaya saat itu.
Sejarah masih terulang sampai sekarang.
Jakarta ternyata juga masih sama
saat Batavia dulu, kala begitu beringas menggusur rumah orang-orang
miskin dan pedagang kaki lima tapi tiada bernyali menghadapi penguasa
dan pengusaha yang terlibat korupsi.
Referensi:
Peperangan Kerajaan di Nusantara, Capt. RP Suyono, Grasindo, Jakarta, 2003
http://jakarta45.wordpress.com/2010/01/0...n-batavia/
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/...659491.htm
http://megapolitan.kompas.com/read/2009/...rbengkalai
Pertempuran 10 November 1945, Bung Tomo, VisiMedia, Jakarta, 2008
http://openlibrary.org/b/OL7842243M/The_...st_of_Java
http://kota-jakarta.info/category/sejara...ta/page/3/
Sumber: http://forum.gemscool.com/thread-90120.html
Batavia kini adalah Jakarta ibukota Indonesia.
ReplyDelete