CORETAN DINDING KOTA
(SH/Septiawan)Corat-coret “Kucing Hitam”
Sihar Ramses S | Sabtu, 26 Mei 2012 - 13:02:03 WIB
Saat para mahasiswa berusaha
“menggedor” rezim pemerintahan Orde Baru dengan orasi berapi-api
dan pendudukan gedung DPR, 1998 silam, para seniman grafiti tak
ketinggalan untuk berekspresi.
Coretan-coretan berbunyi "Tolak
Rezim Militer", “Tarik Pasukan Bersenjata Indonesia dari
Parleman” dan “Wiranto+Habibie Go To Hell!” mewarnai
dinding-dinding kota pada masa itu.
Iwan Fals pernah membuat lagu khusus
tentang grafiti atau coretan di dinding. Baginya, coretan di dinding
adalah sebuah pemberontakan kucing hitam. Grafiti memang kerap
digunakan sebagai ekspresi pesan-pesan politik dan sosial. Di banyak
kota di dunia, hasil karya pencoret dinding ini meresahkan para
penguasa. Mereka biasanya menggambari properti tanpa izin dari
pemilik dan kerap dianggap vandalisme.
Grafiti adalah kebebasan berekspresi
dan media yang digunakan adalah jalanan. Ini berarti terkait dengan
tantangan. Bagi para pencoret dinding, semakin tinggi tingkat
larangannya, semakin tertantang mereka. Itu sebabnya, tak ada tempat
“terlarang” bagi mereka.
Namun, pada akhirnya, menurut Rektor
Institut Kesenian Jakarta, Wagiono, kebebasan ekspresi itu ada yang
benar-benar menjadikannya alat ekspresi, tapi ada juga yang murni
sebagai tindakan vandalisme.
Di Amerika, kebiasaan mencoret-coret
alat transportasi publik pernah dilakukan kalangan anak muda. Mereka
kerap mencoret-coret kereta atau subway. Ketika subway atau kereta
dibersihkan, mereka akan melompat, menanti kereta atau bus itu keluar
dari pool untuk kemudian mereka coreti lagi.
“Keduanya, bus dan kereta adalah
'barang' yang digemari karena keduanya bergerak dari ujung barat ke
ujung timur. Semakin jauh jarak, semakin senang mereka, karena
semakin banyak orang yang akan melihat,” kata Wagiono.
Ada persaingan, siapa yang melakukan,
siapa yang menaruh signature di sana, kelompok dan komunitas mana
yang berhasil. Persaingan itu bisa berlangsung dengan keras dan
kasar. Grup yang satu bisa mencoret dan menghapus bahkan menimpa
langsung karya grafiti dari komunitas sebelumnya. Karya lama dibom
oleh si bomber (istilah untuk seniman grafiti), untuk menghasilkan
grafiti baru, signature dari kelompok baru yang ingin mengungguli
tulisan dari kelompok sebelumnya.
Namun, di beberapa tempat,
kenyataannya, hal itu dapat dijadikan sebagai wilayah ekspresi. Bagi
anak muda, di kampus-kampus misalnya, asalkan tidak mengarah pada
pornografi, coretan di dinding kamar mandi atau toilet dipandang
sebagai space bagi mereka untuk berekspresi, menuntut dan
mempertanyakan birokrasi negara hingga birokrasi kampus. Dalam
grafitilah, kesempatan mereka bersuara.
Di Kota Yogyakarta, keberadaan grafiti
dituangkan dengan cukup estetik. Berbeda dari Jakarta, para seniman
grafiti di Yogyakarta tidak menggunakan wilayah yang sudah “ditandai”
kelompok lain untuk berekspresi, apalagi jika grafiti yang tertoreh
di sana sangat bagus. “Mereka mengapresiasi keindahan,” kata
Wagiono. Itu sebabnya, Wagiono sempat kecewa ketika menyaksikan
sebuah lukisan indah di terowongan Dukuh Atas, Kawasan Sudirman,
Jakarta, ditimpa oleh lukisan lain yang tak lebih baik.
Galeri Jalanan
Namun, tanyakanlah kepada para seniman
grafiti, mereka akan sepakat bahwa mencoret-coret di dinding bukan
seni vandal karena mereka kerap menggunakan sesuatu yang sudah rusak.
Misalnya saja, tembok yang sudah dipenuhi tempelan-tempelan poster
dan spanduk. Hal itulah yang dikatakan Popo, seorang seniman grafiti.
“Media ekspresi mereka adalah jalanan
karena dianggap sebagai galeri,” tuturnya. Popo mengungkapkan besar
kemungkinan seniman grafiti menggunakan jalanan karena ingin sekali
karyanya dilihat orang.
“Kita tidak perlu mengundang orang
untuk melihat karena otomatis orang-orang yang melintas akan
melihat,” katanya.
Saat ini, kata Popo, perkembangan seni
grafiti di Indonesia sudah bagus. Ini karena para produsen kerap
menggunakan “cara-cara” para seniman untuk mempromosikan produk
mereka.
“Yang saya maksud di sini, bukan
grafiti yang digunakan dalam iklan komersial namun iklan komersial
itu menggunakan cara-cara human graffiti untuk membuat iklan dan hal
tersebut sudah mulai marak sejak 2008,” ujarnya.
Popo mengatakan pada pascareformasi,
seniman grafiti memang lebih bebas menyuarakan pesan-pesan bertema
politik atau sosial, tapi justru karena itu jadi terlalu cair dan
dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak berkepentingan.
“Contohnya iklan, yang sudah masuk ke
wilayah-wilayah ilegal, seperti iklan provider layanan seluler atau
lainnya seperti menggambarkan suatu logo atau iklan suatu provider di
tembok-tembok rumah yang seharusnya itu bagian untuk seniman
grafiti,” katanya.
Kemungkinan besar, Popo melanjutkan,
iklan-iklan yang tergambar di tembok-tembok itu tidak memiliki izin
resmi, dan mereka cuma izin kepada pemilik tembok. Seharusnya
pemasang iklan membayar ratusan juta atau miliaran, namun dengan cara
tersebut mereka hanya membayar puluhan juta.
“Di semua tempat di Jakarta cocok
digunakan untuk grafiti,” katanya.
Daya tarik grafiti boleh saja
dimanfaatkan oleh otak-otak komersial. Namun, grafiti sejatinya
tetaplah sebuah representasi pemberontakan, ekspresi ketidakpuasan
terhadap keadaan sosial.
“Namun, biasanya cenderung tidak
politis,” kata Boedhatmaka Darsono, Kepala Program Studi DKV,
Institut Kesenian Jakarta.
Koko, demikian ia biasa dipanggil,
mengatakan situasi politik tertentu tak menjadi dorongan utama bagi
para bomber. Bagi mereka, grafiti adalah ideologi kebutuhan untuk
“memberontak”, antikemapanan, memacu adrenalin dan memberi efek
kejutan.
Maka, dari segi bentuk, agak sulit
terlihat perbedaan antara grafiti pada masa orde baru dan
pascareformasi. “Perbedaan grafiti pada masa orde baru dan
pasca-reformasi lebih banyak pada isi pesan. Secara visual, sangat
personal karena itu yang menjadi identitas yang mudah ditangkap oleh
para 'bomber' lain,” katanya.
Perkembangan seni grafiti saat ini
boleh dibilang cukup menggembirakan. Secara visual dan pesan sangat
personal dan makin besar porsi gambar, tidak hanya sekadar tulisan.
Ini karena makin baik kemampuan visual para bomber yang memiliki
latar belakang seni, misalnya mahasiswa perguruan tinggi seni, dan
seniman.
Sebuah grafiti bisa dibedakan dengan
mural. Sebuah gambar dinding atau mural membutuhkan perencanaan dan
legalisasi yang lebih lama sehingga membutuhkan keleluasaan waktu.
“Dibutuhkan legalitas,” kata Koko.
Grafiti memiliki esensi bebas dan ada
efek kejutan; dan itu bisa diartikulasikan dengan “berkarya tanpa
izin”. (Toar S Purukan/Ida Rosdalina)
(Sinar Harapan)
Sumber:
http://www.shnews.co/detile-2345-coratcoret-%E2%80%9Ckucing-hitam%E2%80%9D-.html
Comments
Post a Comment